Dari kantor ini, tampak mobil sedan berhenti di depan pagar. Aku melihat seseorang keluar mobil, lalu berjalan menuju kantor ini. Beliau adalah Bapak PPAI (Pengawas Pendidikan Agama Islam).
“Ada kabar apa bu dari Surabaya?” tanya beliau.
“Sama pak. Seperti yang disampaikan teman-teman kemarin.” Bu Kepala menjawab.
Saya mengerti, mereka sedang membicarakan masalah akreditasi.
“Nggak, dengar-dengar pake biaya banyak?”
“Ya kalau itu belum pasti pak..soalnya tidak disampaikan waktu sosialisasi kemarin. Tapi memang ada beberapa teman yang menyinggung soal itu?”
Pak Pengawas melanjutkan, “Begini, kalau urusan akreditasi itu kan sebenarnya tidak terlalu diperhitungkan sama masyarakat. Kita ini MI. Kita lihat masyarakat kurang peduli apakah madrasah ini akreditasinya A atau yang lain. Mereka lebih melihat bagaimana jalannya pendidikan di madrasah kita, khususnya program apa yang kita tawarkan untuk anak-anak. Lha kalau untuk itu kita suruh ngeluarin biaya banyak, kan lebih baik kita tidak terlalu mengejar akreditasinya tinggi, tapi biayanya kita pake untuk mengembangkan program-program unggulan.”
Apa yang dikatakan Pak Pengawas menutur saya ada benarnya. Paling yang mempedulikan masalah akreditasi cuma segelintir. Namun demikian, permasalahannya tidak sesederhana yang disampaikan. Entah kenapa saya tiba-tiba berpikir demikian.
Sejak pertama kali sukwan di MI ini, saya mulai menyadari bahwa di dunia pendidikan formal, berpikir ideal itu belum tentu bisa diwujudkan secara konkret. Bagi saya, apa yang disampaikan Pak Pengawas tadi masuk dalam ranah idealis.
Beberapa hal yang saya alami membuktikan hal itu. Terakhir adalah saat mengurus masalah Beasiswa Siswa Miskin (BSM) bagi siswa yang tergolong kurang mampu. Ada enam puluh alokasi siswa yang diberikan jatah BSM. Saya-bersama guru yang lain- memang kesulitan untuk menentukan siapa yang berhak menerima jatah itu. Jika hanya mengacu pada standar miskin yang ditetapkan pemerintah saat ini, maka siswa yang masuk tak lebih dari lima. Sementara ada keharusan untuk memenuhi kuota yang telah ditetapkan.
Akhirnya, dengan mengklasifikasikan seluruh siswa berdasarkan banyak aspek, akhirnya enam puluh nama berhasil kami dapatkan. Beberapa hari setelah kami setorkan nama-nama itu beserta berkas-berkas pelengkapnya, ada informasi bahwa kuota BSM dikurangi. Sementara tidak ada kesempatan lagi untuk merevisi. Akhirnya beberapa siswa yang benar-benar tidak mampu harus menerima bahwa nama mereka tidak masuk dalam daftar penerima BSM. Tentu ini menimbulkan kekecewaan tersendiri.
Terkait masalah akreditasi di atas, idealnya mungkin seperti yang dikehendaki Pak Pengawas di atas. Tapi ketika nanti ada pemberitahuan wajib bagi madrasah untuk mengeluarkan biaya, tampaknya terlalu sulit bagi MI ini untuk mengelak. Apalagi dengan bayang-bayang suatu saat nanti bisa saja dipersulit jika ingin menaikkan status akreditasi.
Terlepas dari itu, berpikir idealis mutlak dimiliki semua orang yang demikian maju. Mindset kreatif dan inovatif harus selalu dimiliki khusunya semua insan pendidikan. Meskipun dalam pelaksanaannya kadang menemui hambatan.
Bendiljati Wetan, 23 April 2015 jam 23.52 WIB
Monitoring Ujian
0 Komentar