Awalnya, aku memandang laptop ini dengan tatapan penuh, karena asyik membaca. Sebuah novel: Sang Pemimpi. Novel lama memang, tapi baru kali ini aku membacanya. Disana, berjarak 3 meter dari tempat dudukku ini, enam anak sedang asyik bermain. Tak lama, lirih aku mendengar salah satu yang mengajak keluar kelas.
Karena ini jam istirahat, yaa mereka bebas keluar masuk. Tapi tiba-tiba aku memutuskan berhenti membaca, merenungkan apa yang baru saja nampak di depanku. Mereka membungkuk saat berjalan tepat di depanku. Tak tahu, seperti aneh saja melihat perlakuan anak-anak itu kepadaku. Sekali lagi, di tempat ini aku merasa disuguhi suasana masa kecilku.
Suatu masa dimana guru masih dihormati sebagai sosok pengayom dan peneduh jiwa. Kayaknya, tingkah laku seperti ini tak banyak dilakukan anak-anak di luar sana. Termasuk juga anak-anak di madrasah yang dulu, karena letak geografisnya sudah berbau “kota”, anak-anak itu lebih sering mepmposisikan guru sebagai teman belajar.
Kadang aku sanksi. Yang benar itu seperti apa? Apa menerapkan pembelajaran khas modern yang dikatakan aktif, kreatif, dan inovatif itu? Atau model pembelajaran konvensional yang diterapkan guru-guruku saat kecil dulu? Mungkin persepsiku salah. Tapi dari apa yang barusan nampak, kayaknya bentuk pembelajaran lama lebih kuat dalam membentuk karakter anak-anak. Akupun jadi seperti ini juga produk pembelajaran lama.
Bagaimanapun, keberhasilan guru sebagai pentransfer nilai salah satunya tercermin dari para siswa yang menghormatinya secara utuh. Dan itu belum aku lihat dalam konsep-konsep pendidikan student based learning.
0 Komentar