“Seiring berjalannya waktu, semakin saya
sadari banyak hal penting yang terlupakan. Ia begitu dekat. Dan anehnya,
letaknya yang dekat menjadikan saya malu dan berusaha melupakannya”
Saya tidak tahu apa sebabnya, ketika
tiba-tiba sebuah tamparan keras terasa mengarah pada saya. Sebelum akhirnya
saya sadar telah menduakan identitas saya dengan identitas orang lain. Ya, Jawa
dan Islam! Keduanya telah dilekatkan sejak saya lahir. Sungguh aneh jika ternyata keduanya terlupakan gara-gara arus masyarakat sekarang sudah tidak
terlalu peduli dengan kearifan budaya lokal dan nilai-nilai agama. Saya memang
masih beretnis Jawa, tapi sering merasa minder saat
menampilkan tradisi dan simbol Jawa di tengah kerumunan orang yang kebanyakan
mengaku penganut modernisme. KTP saya juga tertuliskan Islam, akan tetapi hanya
sedikit sekali waktu yang saya luangkan untuk mendalami ajaran-ajarannya.
Semuanya dialihkan kepada segala hal yang sebenarnya asing dalam hidup saya,
baik berupa produk maupun pemikiran. Sejalan dengan pengalihan fokus tersebut -lewat
pakaian, acara-acara di TV, makanan
kesukaan, termasuk piranti yang saya gunakan menulis ini-, semua seolah ingin
menjauhkan saya dengan identitas saya sendiri. Ow shit!
16 Desember 2011, sebuah artikel diunggah
oleh seorang yang mengaku sebagai “penidur bodoh” , berjudul Jawa adalah
Islam. Saat itu, kesadaran benar-benar muncul. Proses penggalian makna falsafah
Jawa adalah kegiatan yang paling saya suka waktu itu. Termasuk ketika berani
menyampaikan kritik atas penggunaan logika “lampu hanya akan diletakkan di
tempat yang gelap”, yang penulis unggah 2 minggu setelahnya. Sayangnya, letupan itu hanya berjalan beberapa bulan. Saya
harus menundukkan wajah sambil jujur mengakui bahwa saya ini bermental tempe. Belum sampai menerapkan nilai ajaran Jawa dan Islam secara utuh, saya kembali ikut hingar-bingar pola pikir pragmatis dalam balutan
tradisi dan budaya asing. Hangat-hangat tahi ayam, akan terasa hangat
ketika baru saja keluar dari anus, kemudian dingin, lalu menghilang.
Pembaca
yang dirahmati Tuhan, pada kesempatan ini saya ajak Anda untuk memaknai salah
satu keluhuran kearifan Jawa berbentuk ungkapan-ungkapan, yang di dalamnya tersimpan
makna filosofis cukup dalam. Masing-masing dari falsafah itu selanjutnya coba
kita padukan dengan ajaran Islam. Tapi perlu saya tegaskan, biarlah kedalaman
makna itu terus tersimpan di dalam ungkapan-ungkapan itu, karena saya tidak akan dan belum mampu memaknainya secara mendalam.
Secara
khusus, tulisan ini saya tujukan kepada “penidur bodoh” sebagai wujud
kerinduan setelah lama tidak menjalin silaturahim fikri dalam rangka
menyemarakkan pemikiran hal-hal tidak penting. Saya tidak peduli apakah tulisan
ini dibacanya atau tidak, karena saya juga tidak yakin di rumahnya sekarang ada
jaringan internet.?!’%$. Ini sekedar upaya untuk memenuhi harapan yang ia tulis
dalam artikel Jawa adalah Islam, “. . . menjadi tugas Anda untuk menggali kekayaan tradisi Jawa lebih
lanjut . . .”
*
Budi dayane manungsa ora bisa ngungkuli garise Kang Kuwasa
Sengaja saya
menulis falsafah ini paling awal, untuk mengingatkan saya dan Anda akan
banyaknya pemikiran-pemikiran zaman sekarang yang menuntun manusia untuk
menyombongkan akalnya. Dalam istilah Fauz Noor (novel Tapak Sabda), akal
orang-orang tersebut tidak mau din (tunduk). Mereka melakukan
pengembaraan tanpa batas untuk mencari argumen rasional atas segala hal. Pada
puncaknya, pengakuan akan egonya mengalahkan pengakuan kepada Zat Yang Tak
Terbatas.
Dalam
sejarah Islam, persoalan takdir menjadi perdebatan terutama di kalangan
Jabariyah dan Qodariyah. Kaum Jabariyah berpendapat bahwa takdirlah yang
menentukan perilaku. Manusia tidak bisa berbuat apa-apa karena segalanya sudah
digariskan. Sedangkan kaum Qadariyah berpendapat bahwa ikhtiar manusialah yang
menentukan keadaan yang ia alami. Meskipun keduanya berbeda pemikiran, uniknya
mereka sama-sama menggunakan Al Quran sebagai dalil argumennya. Jika kaum
Jabariyah umumnya menggunakan QS. Ali Imran ayat 26, kaum Qadariyah menggunakan
QS Ar Ra’du ayat 11. Dan jika fakta menunjukkan keduanya sampai melakukan
pertumpahan darah, saya tidak mau ambil pusing dengan itu. Saya lebih ingin
melihat sisi ghirah yang tinggi dari orang-orang terdahulu dalam
melakukan dialektika pemikiran.
Baiklah,
marilah sekarang kita memaknai hubungan takdir dengan ikhtiar manusia
berdasarkan falsafah Jawa di atas. Jika membaca sekilas, kalimat tersebut
seolah dekat dengan aliran Jabariyah. Dimana takdir (garise Kang Kuasa)
adalah penentu segalanya, sedangkan ikhtiar/budidaya manusia tidak berpengaruh
apa-apa. Tapi coba kita lihat kalimat yang menjadi penghubung keduanya. Kalimat
yang digunakan adalah “ora bisa ngungkuli”. Berarti ini berkaitan dengan
tingkatan. Akal dan ikhtiar manusia mendapat tempat, sekalipun lebih kecil atau
rendah dibanding kehendak Tuhan. Upaya manusia dalam hidup ini sangat berpengaruh,
meskipun pada akhirnya kehendak Tuhanlah yang menentukan.
*
Janma
tan kena kinira kinaya ngapa.
Suatu ketika dalam suasana gelap, seseorang
yang buta memberitahu Anda letak korek api. Apa yang langsung terlintas di
benak Anda? Tampaknya sulit bagi Anda maupun saya untuk langsung percaya pada
orang itu. Dan memang watak itulah yang banyak dimiliki oleh kita, melihat dulu
“background” seseorang sebelum mendengar dan mempercayai kata-katanya.
Dari sisi psikologis, ini adalah sebuah
pertahanan alami dalam upaya mewaspadai kemungkinan terburuk yang datang dari
orang lain. Sikap ini sah-sah saja. Manusia memang sulit diduga apa yang ada
dibalik ucapan dan tingkahnya. Akan tetapi, berlarut dalam keraguan dan
ketidakpercayaan juga mengakibatkan kerugian. Sebagai contoh, mungkin saat ini
Anda akan bersikukuh menolak ucapan seorang buta huruf yang mengaku bahwa dia
utusan Tuhan. Tapi coba Anda bayangkan, jika pola pikir ini Anda gunakan pada
tahun 600-an Masehi, saya bertaruh Anda itu seperti Abu Jahal atau Abu Lahab.
Maka, falsafah di atas sekedar menunjukkan
salah satu sifat dasar manusia. Sekaligus member rambu-rambu pada saat menjalin
relasi dengan orang lain. Dan di dalam Islam,
saya pernah mendengar : “undhur maa qaala, wa laa tandhur man qaala”.
Pasti ada nilai positif dari setiap ucapan yang positif, meskipun ucapan itu
muncul dari orang yang “tidak tepat”.
*
Sukeng tyas yen den hita
Bagi orang yang
mengunggulkan ego dalam kesehariannya, ungkapan ini sulit diterima. Baginya,
kebenaran adalah nilai mati dari semua ucapan dan perilakunya. Mengkritik
diartikan menjatuhkan, menasihati dianggap mengggurui, dan teguran dinilai
memvonis.
Lain lagi
bagi yang mau menyadari keterbatasan individu dalam setiap pengambilan
keputusan, maka semua hal yang ia lakukan ketika sudah masuk dalam ranah sosial
akan menjadi relatif, bisa benar bisa salah. Kritik,
baginya adalah kebutuhan yang tidak bisa tidak. Ia harus ada dalam setiap
proses menuju “kesempurnaan” berperilaku.
Corni Ten Boom, memberikan label
yang unik untuk orang yang mengkritik kita, “...orang-orang yang melontarkan
kritik bagi kita pada hakikatnya adalah pengawal jiwa kita, yang bekerja tanpa
bayaran.”. Ya, saya setuju dengan pendapat ini. Mereka itu orang yang mau
mengawal kita, jadi mereka bekerja untuk kita tanpa pernah kita minta.
Di dalam Islam, nasehat bisa jadi merupakan hakikat dari agama (Islam) itu sendiri. Dalam sebuah
hadis disebutkan, “ad diinun naashihatu”. Maka, Islam secara tegas menuntun manusia untuk menjadi makhluk yang
terbuka dalam menerima setiap kritikan atau teguran yang datang dari luar.
*
Jumbuhing
kawula Gusti
Ungkapan
ini agak dekat dengan salah satu ajaran yang cukup kontroversial, yakni manunggaling
kawula Gusti, sebuah ajaran yang konon mengantarkan Syekh Siti Jenar menuju
hukuman matinya. Baik manunggaling kawula Gusti maupun jumbuhing kawula Gusti,
ada yang memaknainya dalam konteks relasi manusia dengan Tuhan (masuk pada
wilayah Teologi), dan ada juga yang menjadikannya dasar hubungan rakyat dan
pemimpin (masuk wilayah sosial-politik). Disini, saya hanya ingin memaknai
falsafah ini pada konteks yang kedua.
Secara harfiah, jumbuhing kawula Gusti
berarti bersatunya rakyat dengan pemimpin. Yang dimaksudkan bersatu disini
mungkin adalah adanya kesesuaian dalam berbagai hal, seperti visi, program
kerja, tujuan jangka pendek, tujuan jangka panjang. Idealnya, kebijakan seorang
pemimpin memang harus selaras dengan kebutuhan rakyatnya. Keberhasilan tersebut
dapat diukur dari sejauh mana rakyat menaruh kepercayaan terhadapnya.
Jika
sudah tidak ada kepercayaan dari rakyat terhadap pemimpin, maka birokrasi akan
rapuh dan berdampak tertentu pada kelangsungan negara. Hal ini dibuktikan oleh
adanya beberapa pemberontakan di berbagai negara menuntut turunnya sang
pemimpin, termasuk Indonesia pada 1998. Terlepas dari adanya “kekuatan tak
tampak” yang pasti mempengaruhi setiap peristiwa besar, adanya gerakan-gerakan
tersebut menunjukkan keberanian rakyat dalam melawan “wakil Tuhan” di bumi.
Di dalam Islam, cukup banyak ayat Quran
maupun hadis yang mengatur hubungan antara rakyat dan pemimpin. Tentang
bagaimana sikap rakyat terhadap pimpinan salah satunya ditunjukkan oleh QS An
Nisa’ ayat 59, dan bagaimana sikap pemimpin terhadap rakyat ditunjukkan oleh
QS. Asy-Syu’ara ayat 215. Baik ajaran Jawa yang disampaikan lewat
falsafah-falsafahnya, maupun Islam melalui dalil-dalil naqlinya, sudah tidak
perlu disangsikan bahwa keduanya menaruh perhatian yang tinggi terhadap pola
relasi rakyat dengan penguasa. Meski pada kenyataannya, untuk sampai kepada
tingkat “jumbuh” tersebut amat sulit terwujud, karena suatu keputusan
atau kebijakan bisa dianggap tepat oleh satu individu atau kelompok, namun
dianggap kurang tepat bagi individu atau kelompok lain.
*
Tumprape
wong linuwih tansah ngundi keslametaning liyan, metu saka atine dhewe
Orang Jawa mengenal kasta dalam kehidupan
sosial. Hal itu ditunjukkan lewat perbedaan sikap dan ragam bahasa yang
digunakan ketika berhadapan dengan orang yang berbeda secara usia, kedudukan,
atau tingkat keilmuan. Saat berhadapan dengan orang yang lebih tua usianya,
maka waktu berjalan di depannya kita dianjurkan menunduk dan berkomunikasi
menggunakan ragam krama alus. Salah satu ciri khas budaya Jawa ini telah
diwariskan secara turun temurun, meskipun pada kenyataannya sudah banyak orang
Jawa yang meninggalkan tradisi ini.
Meskipun
upaya kastanisasi sering menjadi perdebatan, saya termasuk orang yang setuju
apabila praktik tersebut dipertahankan. Syaratnya, proses penentuan kelas
sosial harus berjalan di atas koridor yang tepat. Koridor yang dimaksud tidak
lain adalah ungkapan di atas. “bagi orang yang punya kelebihan selalu
berupaya menjaga kesejahteraan sesama, yang muncul dari niat suci diri pribadi”.
Maka, yang berhak menyandang kasta lebih tinggi adalah mereka yang punya
kelebihan tertentu, entah dari segi kondisi ekonomi, intelektual, spiritual,
atau sekedar pengalaman hidup. Dan itu ia jalankan bersamaan dengan niat
sucinya untuk membangun kehidupan bersama yang berkeadilan. Ditambah lagi masing-masing
individu yang menempati kelas tertentu sadar diri atas hak dan kewajibannya,
mungkin kita akan segera melihat bentuk kastanisasi yang ideal, yang mampu menciptakan keharmonisan dalam
kehidupan sosial.
*
Catatan
Akhir
Dilihat dari perjalanan sejarah, Islam
mendeklarasikan dirinya sebagai agama yang ramah budaya lokal. Termasuk ketika masuk di tanah Jawa, ajaran Islam masuk ke dalam
tradisi dan simbol-simbol Jawa. Maka, ada kemungkinan bahwa penentuan falsafah-falsafah
Jawa sudah dipengaruhi oleh ajaran Islam. Namun jika melihat lamanya agama lain
yang masuk sebelum Islam, mungkin juga falsafah-falsafah itu dipengaruhi ajaran
agama tersebut. Sedangkan kemungkinan yang terakhir, orang Jawa sendirilah yang
mengungkapnya, melalui perenungan yang mendalam atas jalannya kehidupan. Saya
belum bisa menjawab kemungkinan-kemungkinan itu. Dibutuhkan telaah dan analisa
sejarah yang panjang untuk menjawabnya.
Demikianlah pemaknaan dari sedikit
ungkapan-ungkapan Jawa. Penentuan kalimat-kalimat filosofis yang saya pilih di atas memang hanya didasarkan pada ketertarikan saya
pada ungkapan-ungkapan itu. Jika dibandingkan
dengan luasnya samudera kearifan Jawa, upaya ini ibarat setetes air di
tengah-tengah lautan. Terlepas dari itu, saya berharap ini menjadi pintu masuk untuk
kembali ke “rumah”, yang sejak lahir telah dilekatkan dalam diri ini : Jawa dan
Islam.
(Minggu, 20 Jan 2013, di kontrakan, setelah
pertandingan Chelsea v ARSENAL)
0 Komentar