Satu bulan lebih tinggal disini, aku memang jarang
bertetangga. Hanya pas ada acara tahlil aku bertatap muka dan ngobrol
sekedarnya dengan tetangga. Jelas itu tak cukup untuk mengenali karakter warga
perumahan ini.
Hanya yang sering terpikir, dari cerita yang kudengar
dari tetangga sebelah maupun saudara yang dulu pernah tinggal di kawasan
perumahan ini, pilihan untuk jarang bertetangga justru didukung. Karakter
masyarakat di tempat yang baru ini di luar dugaanku. Benarkah semakin akrab
justru berakibat hal kurang baik, seperti jadi bahan pergunjingan, sasaran
utang dll?
Ada ungkapan Jawa yang bunyinya “mawa desa mawa cara”. Maknanya kurang
lebih setiap tempat itu berbeda-beda budayanya, karakternya, cara bergaulnya,
dan nya-nya yang lain. Dulu, berbekal sedikit pengalaman hidup di luar rumah, aku
mengamini begitu saja ungkapan itu. Sudah jelas bahwa masing-masing daerah itu
berbeda. Dan saat mendengar ungkapan itu, di otakku tak lain hanya terbesit
bahwa setiap orang harus menghormati, menghargai budaya dan karakter daerah
lain.
Setelah benar-benar masuk dalam lingkungan baru ini,
ternyata tak sesederhana itu. Saudaraku bercerita tentu berdasarkan kenyataan
yang pernah dialami, yang secara tak langsung memberi pesan waspada serta tak
berlaku gegabah di tempat ini. Pesan ini kujadikan bekal bersosial ala warga
perumahan, seraya tetap mengedepankan sikap positive thinking pada siapapun
juga.
Kepanjen, 18 Oktober 2015
0 Komentar