Selamat datang di blog portofolio, jurnal, dan catatan harian AzzamArifin.web.id

Acara Malam Yang Kutunggu

Ada satu hal yang sebenarnya saya tunggu terkait SD ini, yakni kegiatan yang dilakukan di malam hari. Apakah itu pramuka, rapat, atau pertemuan, terserah. Yang penting ada kegiatan di malam hari. Entahlah, saya merasa kalau sekolah itu terasa “hidup” jika ada sesekali ada aktifitas yang dilakukan di malam hari. Bagi saya, “sense of belonging” terhadap lembaga akan muncul jika warga sekolah mau melaksanakan kegiatan di malam hari.

Meski antusias, ada resiko yang harus saya tanggung jika ada kegiatan di malam hari. Saya tentu harus mengalahkan rasa takut saat berada di perjalanan kurang lebih 15 km yang lebih dari separonya adalah perkebunan sepi, tanpa penerangan. Memang kondisi jalan untuk saat ini cukup bagus, namun bagi seorang pendatang seperti saya, melintasi jalanan sepi saat malam hari malam hari. Sedikit bekal yang ada, saya cukup menguasai medan karena setiap hari jalan inilah yang saya lewati.

Pengalaman saya menelusuri jalanan ngajum – babadan di malam hari masih bisa dihitung jari. Itupun terbanyak ketika saya masih bertempat tinggal di rumah pak Kasun Watutumpeng dulu. Waktu itu bulan puasa, saya mengubah kebiasaan perjalanan yang biasanya pagi atau sore menjadi malam, untuk menghindari rasa lelah saat menjalankan puasa. Akhirnya, saya harus melewati rute sepi nan gelap itu tiap kali kembali dari kampong halaman. Pengalaman lainnya adalah saat pulang kemalaman sehabis dari warnet. Maklum di Watutumpeng sinyal internet sangat sulit, sehingga saya harus mencari warnet di ngajum yang berjarak sekitar 10 km. Mungkin karena keasyikan, saya lupa waktu.

Setelah pindah tempat ke Kepanjen ini, hanya dua kali saya mengikuti acara di malam hari. Yang pertama adalah saat buka bersama, kemudian rapat wali murid. Sebenarnya sekitar sebulan lalu sekolah mengadakan perkemahan yang memberi saya kesempatan untuk menginap di sekolah untuk pertama kalinya. Sayangnya, kegiatan itu dilaksanakan bertepatan dengan diklat prajabatan. Saya pun tidak bisa berpastisipasi pada kegiatan itu.

Malam nanti, momen yang saya tunggu itu datang. Acaranya adalah rapat komite membahas pembuatan pagar sekolah. Kepala sekolah memutuskan waktu malam hari agar para undangan memiliki waktu yang panjang untuk bermusyawarah. Keputusan ini juga untuk menghindari komite yang tidak  bisa datang karena sibuk dengan rutinitas saat siang hari.

Menjelang maghrib, saya sebenarnya agak ragu jadi berangkat atau tidak. Cuaca sedang tidak bagus. Mendung cukup tebal menyelimuti Kepanjen. Belum lagi acara ini nanti berpotensi selesai larut malam. Bukan masalah berarti kalau saya tidak jadi berangkat, karena tugas saya yang mungkin hanya sebagai notula bisa digantikan yang lain. Guru-guru lainnya pun mungkin juga memaklumi, karena lokasi saya yang jauh dengan cuaca seperti ini cukup beresiko. Tapi antusias saya menunggu kegiatan malam hari di sekolah mengalahkan rasa ragu. Saya memutuskan berangkat.

Seperti yang saya duga, rute ngajum-babadan masih didominasi jalanan yang gelap, khususnya saat melintasi perkebunan. Tidak ada yang berubah seperti saat terakhir kali dulu. Namun saya tetap berkeyakinan perjalanan ini akan lancar dan tidak ada hambatan. Hendak memasuki dusun Watutumpeng, hawa dinginnya terasa begitu khas. Saya teringat kembali saat menghabiskan malam-malam di dusun ini dulu.  Bercengkerama dengan tetangga, membimbing belajar anak-anak tetangga, dalam suasana yang sangat sepi seperti ini.

Tidak ada pengorbanan yang berakhir sia-sia. Itulah prinsip yang sedang saya tanam. Meski ternyata tidak ada guru lain yang datang selain saya dan kepala sekolah, saya tetap bersemangat. Bagi saya, ini adalah pembelajaran untuk tidak menggantungkan tanggungjawab pada orang lain. Meski sendiri, jika itu sudah menjadi tanggungjawab kita, maka harus dilaksanakan dengan maksimal.

Bapak-bapak pengurus komite sejatinya merupakan sampel dari warga masyarakat dusun Watutumpeng keseluruhan. Jika urusan “ngopeni” sekolah, mereka aktif dan tidak perhitungan. Apapun program dari sekolah selama itu untuk kebaikan lembaga, akan selalu disengkuyung masyarakat sekitar. Hal ini juga karena hubungan yang harmonis antara warga sekolah dengan masyarakat yang sudah terjalin bertahun-tahun. Mereka tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih jika ada rencana perbaikan gedung atau ada prestasi yang diraih sekolah.

Untuk urusan renovasi pagar yang menjadi tema rapat kali ini, para pengurus komite tampak tidak mengalami kesulitan. Hal ini karena sebagian diantaranya bekerja sebagai tukang bangunan. Sehingga urusan renovasi pagar terbilang ringan dan bisa segera dilaksanakan. Mereka segera melakukan perincian kebutuhan dan membagi siapa saja yang bertugas setiap harinya, karena pekerjaan ini sifatnya gotong royong (sambatan).

Dari musyawarah ini, saya terkesan pada satu obrolan,

“Kalau semuanya sudah, hari apa kerjanya dimulai?” tanya kepala sekolah.

“Kalau itu yang pas Sabtu Wage pak.” jawab salah seorang pengurus, diikuti anggukan dari yang lain.

Saya yang harus menuliskan tanggal kapan mulai pekerjaan di notula rapat menyahut, “Sabtu Wage itu besok lusa ya pak?”

“BUKAN SEPERTI ITU, MAS. SABTU WAGE ITU TERMASUK SABTU SESUDAH SABTU INI.”

Mafhum, mereka adalah masyarakat yang meninggikan tradisi Jawa. Sekalipun hanya renovasi pagar, awal pelaksanaannya harus ditentukan melalui perhitungan Jawa. Lebih dari itu, saat dunia terbiasa menggunakan tanggal sebagai acuan waktu, mereka menggunakan hari dan pasaran Jawa sebagai acuan. Merekalah orang Jawa yang “njawani”.

Kepanjen, 20 September 2016

0 Komentar